Shalat Fardhu dengan berjamaah di tempat
adzan dikumandangkan (masjid), adalah cara shalat-nya Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. tidak pernah shalat di rumah kecuali
shalat-shalat sunnah. Bahkan, meskipun dalam keadaan sakitnya yang
parah, beliau tetap berangkat ke masjid untuk menunaikan berjamaah shalat
fardlu, beliau berjalan dipapah oleh dua orang sahabat, kemudian didudukan
dalam shaf, ketika itu yang mengimami shalat adalah Abu Bakar As-Sidiq R.a.
Demikian pula ada sahabat yang buta, diperintahkan oleh Rasululllah Saw. untuk
menjawab panggilan adzan dengan mendatangi masjid untuk shalat fardlu dengan
cara berjamaah.
Hari ini, sebagian sangat besar umat
Islam berjamaah dalam hal shalat fardlu. Hal ini terjadi, salah satunya karena
sebagian pemuka masyarakat atau tokoh panutan umat (ustadz, dai/mubaligh,ulama)
kurang konsisten berjamaah lima waktu di masjid. Mereka beranggapan bahwa hukum
berjamaah pada shalat fardlu adalah sunnah muakadah, juga menganggap
kalau ketentuan hukum sunnah muakadah terhadap
shalat fardlu berjamaah adalah ketentuan hukum resmi mazhab Syafi’i,
yaitu mazhab fiqh yang dianut oleh sebagian besar umat Islam di negeri ini.
Benarkah Pandangan ini ?
Mari kita baca pendapat Imam Syafi’i mengenai shalat jamaah yang terdapat dalam kitab
terbesarnya yaitu Al-Umm berikut ini
:
SHALAT BERJAMAAH
Allah yang Maha Suci namaNya menyebutkan akan adzan
(pemberitahuan) dengan datangnya waktu shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Artinya: “Dan apabila kamu memanggil (menyeru) untuk mengerjakan shalat, mereka
menjadikan seruanmu itu olok-olok
dan main-main.
Yang demikian itu adalah karena mereka orang-orang yang tidak mengerti” S. Al-Maidah, ayat 58.
Allah berfirman:
Artinya: “Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat
pada hari jum’at, segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.
S. Al-Jumu’ah, ayat 9.
Allah mewajibkan -dan Allah yang lebih tahu- untuk
mengerjakan shalat Jum’at dan Rasulullah s.a.w. men-sunnahkan adzan bagi
shalat-shalat yang fardhu. Maka mungkinlah bahwa diwajibkan mengerjakan shalat
jama’ah pada bukan Jum’at. Sebagaimana disuruh mengerjakan shalat Jum’at dan
meninggalkan jual beli. Dan mungkin bahwa di-adzan-kan dengan shalat Jum’at
itu, supaya dikerjakan pada waktunya.
Rasulullah s.a.w. telah mengumpulkan orang musafir dan
orang mukim, orang yang takut mendapat bahaya dan orang yang tidak takut. Allah
Azza wa Jalla berfirman kepada nabiNya s.a.w. yang artinya:
“Dan kalau engkau hadir bersama-sama dengan mereka,
hendak mengerjakan shalat berkaum-kaum dengan mereka, hendaklah sebahagian
diantaranya berdiri untuk shalat bersama-sama engkau dan memegang senjatanya”.
S. An-Nisa, ayat 102.
Dan ayat yang sesudahnya.
Rasulullah s.a.w. menyuruh kepada orang yang mengerjakan
shalat, bahwa dikerjakannya dan dia itu dalam keaadan tenang. Beliau
meringankan untuk meninggalkan mengerjakan shalat dengan berjama’ah karena ada
halangan (‘udzur), dengan yang akan saya sebutkan pada tempatnya insya Allah
Ta’ala.
Serupalah apa yang saya sebutkan dari Kitab dan Sunnah,
bahwa tidak halal meninggalkan bershalat setiap shalat fardhu dalam berjama’ah.
Sehingga tidak kosonglah jama’ah yang bermukim dan bermusafir, bahwa
terdapatlah pada mereka shalat jama’ah.
Dikabarkan kepada kami oleh Malik dari Abiz-Zannad dari
Al-A’raj dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demi Tuhan,
yang diriku di tanganNya! Sungguh aku bercita-cita bahwa aku menyuruh untuk
dikumpulkan kayu api. Kemudian aku suruh denga mengerjakan shalat. Lalu
di-adzan-kan untuk shalat itu. Kemudian aku suruh seorang laki-laki, lalu ia
mengimami manusia banyak. Kemudian aku berpaling kepada orang-orang yang
terlambat. Maka aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Tuhan yang diriku di tanganNya!
Kalau tahulah seseorang dari mereka bahwa ia akan memperoleh daging tulang yang
gemuk atau dua buah delima yang baik, niscaya ia menghadiri shalat ‘Isya”.
Dikabarkan kepada kami oleh Malik dari Abdurrahman bin
Harmalah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: “Perbedaan diantara
kita dan orang-orang munafik, ialah menghadiri shalat ‘Isya’ dan Shubuh, yang
tidak disanggupi oleh orang-orang munafik pada keduanya atau yang seperti ini”.
Maka serupalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w.
dari cita-citanya bahwa akan membakar rumah-rumah kaum itu, adalah yang
disabdakannya itu terhadap kaum yang meninggalkan shalat ‘Isya’, karena
kemunafikan. Dan Allah Ta’ala yan Maha Tahu.
Maka saya tidak meringankan bagi orang yang sanggup
kepada shalat jama’ah, bahwa meninggalkan mengerjakannya, selain dari karena
‘udzur. Kalau seseorang meninggalkan shalat jama’ah, lalu dikerjakannya shalat
itu sendirian, niscaya tidaklah ia mengulanginya. Yang dikerjakannya shalat itu
sebelum shalat imam atau sesudahnya. Selain shalat Jum’at. Maka atas orang yang
mengerjakannya sebagai shalat Dhuhur, sebelum shalat imam, niscaya ia
mengulanginya. Karena mengerjakan shalat Jum’at itu fardlu ‘ain – dan Allah
Ta’ala yang Maha Tahu.
Setiap jama’ah yang dikerjakan shalat padanya oleh
seseorang, baik di rumahnya atau di masjid kecil atau besar, yang sedikit
jama’ahnya atau banyak, niscaya memadailah jama’ah itu baginya. Dan masjid yang
lebih besar, dimana banyaklah jama’ah padanya, adalah lebih saya sukai. Kalau
ada bagi seseorang masjid yang ia berjamah baginya, lalu luputlah waktu shalat
baginya, maka kalau ia datang ke masjid jama’ah yang lain, niscaya saya lebih
menyukainya. Dan kalau tidak didatanginya dan ia mengerjakan shalat dalam
masjid itu sendirian, maka itu baik.
Apabila ada bagi masjid itu imam yang diatur (imam
rawatib), lalu luputlah waktu shalat bagi seseorang atau beberapa orang
padanya, niscaya mereka itu mengerjakan shalat sendiri-sendiri. Saya tidak
menyukai bahwa mereka mengerjakan shalat padanya dengan berjama’ah. Kalau diperbuatnya
juga, niscaya memadailah jama’ah itu bagi mereka. Bahwa saya memandang makruh
yang demikian bagi mereka, karena tidaklah itu dari yang diperbuat oleh ulama
salaf sebelum kita. Bahkan sebahagian mereka memandangnya sebagai memalukan.
Saya mengira tentang makruhnya perbuatan orang yang
dimakruhkan demikian adalah karena mendatangkan perpecahan bagi mereka. Kalau
seseorang tidak suka mengerjakan shalat dibelakang imam suatu jama’ah, maka ia
mundur dari orang itu. Orang yang bermaksud ke masjid pada waktu shalat, maka
apabila telah dilaksanakan shalat, niscaya ia masuk, lalu mereka berjama’ah,
maka pada ini mendatangkan perselisihan dan perpecahan. Dan dua pada persoalan
itu makruh. Saya memandang makruh ini, pada setiap masjid yang mempunyai imam dan
juru adzan. Adapun masjid yang dibangun atas dataran jalan atau daerah yang
tidak ada padanya juru adzan yang teratur dan ada padanya imam yang diketahui,
lalu mengerjakan shalat padanya orang-orang yang lalu lintas dan mereka itu
berteduh, maka saya tidak memandang makruh yang demikian. Karena tidak ada
padanya makna yang saya terangkan, yaitu: perpecahan.
Bahwa kalau orang-orang itu tidak suka kepada imam
seseorang, maka mereka mengambil imam yang lain. Kalau ia mengerjakan shalat
dengan berjama’ah pada suatu masjid, yang mempunyai imam, kemudian bershalat
padanya orang-orang yang lain pada jamaah sesudah mereka, niscaya saya
memandang makruh yang demikian, karena yang saya terangkan itu. Dan shalat
mereka itu memadai bagi mereka.
***
Demikianlah
pendapat dari Al-Imam Asy-Syafi’i yang ditulis didalam kitab Al-Umm mengenai
permasalahan shalat berjama’ah. Semoga bermanfaat. Silahkan kepada pembaca
untuk menarik kesimpulan masing-masing.
Allah Yang Maha
Tahu.
Sumber :
Al-UMM (Kitab Induk), Jilid 1.
Karangan: Al-Imam Asy-Syafi’i R.A.
Penerjemah: Prof.
Tk. H. Ismail Yakub SH. MA.
Penerbit: Victory
Agency Kuala Lumpur. 1989.