RAFLY lahir di Samadua, Aceh Selatan, tahun 1967, dari sebuah keluarga petani. Sejak kecil Rafly dididik untuk menjalankan tradisi nenek moyangnya. Ayahnya, Mohammad Isa, merupakan syech (pemimpin) grup Meudikee yaitu melantunkan ayat-ayat Alquran.
Pada tahun 1989, Rafly melupakan kesenian Aceh karena lebih menyenangi musik cadas atau rock. Ketika itu ia duduk di sekolah menengah pertama. Waktu itu Rafly beranggapan kalau tidak belajar gitar, maka akan disebut ketinggalan zaman.
“Lumayan lamalah jadi rocker, sekitar tujuh, delapan tahun. Lucu juga tu. Bahasa kerennya, biar gaul men! Hahahaha... Lumayan lama sama teman sekolah dan kuliah. Banyak dari mereka kena tsunami. Waktu itu kita bawa lagu yang cadas lah, wow yeyeyeyeye,” kenang Rafly, dengan menggerakkan kedua tangannya seolah-olah memegang dan memetik gitar.
Pada tahun 1989, Rafly melupakan kesenian Aceh karena lebih menyenangi musik cadas atau rock. Ketika itu ia duduk di sekolah menengah pertama. Waktu itu Rafly beranggapan kalau tidak belajar gitar, maka akan disebut ketinggalan zaman.
“Lumayan lamalah jadi rocker, sekitar tujuh, delapan tahun. Lucu juga tu. Bahasa kerennya, biar gaul men! Hahahaha... Lumayan lama sama teman sekolah dan kuliah. Banyak dari mereka kena tsunami. Waktu itu kita bawa lagu yang cadas lah, wow yeyeyeyeye,” kenang Rafly, dengan menggerakkan kedua tangannya seolah-olah memegang dan memetik gitar.
“Saya belajar. Saya pikir, peniruan sudah sangat sempurna. Saya harus meniru gimana Utha Likumahuwa bernyanyi, gimana almarhum Bang Gito Rollies berekspresi di panggung? Saya senang Gito Rollies, Hari Mukti. Berbeda-beda ya ndak da yang nomor satu,” lanjut Rafly.
Pada tahun 1994 dia menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di desa Ujung Panga, kecamatan Teunom, kabupaten Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya). Kegiatan keseniannya berhenti total, hingga dia kemudian pindah mengajar ke MIN Setui di Banda Aceh pada tahun 2000.
Pada tahun 1994 dia menjadi guru di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di desa Ujung Panga, kecamatan Teunom, kabupaten Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya). Kegiatan keseniannya berhenti total, hingga dia kemudian pindah mengajar ke MIN Setui di Banda Aceh pada tahun 2000.
“Sebenarnya masa enam tahun itu masa transisi. Bisa kita bilang masa kontemplasi, masa perenungan itu yah. Dari kegelisahan, kita melihat bentuk musik-musik yang ada di Aceh,” kenangnya.
Kala itu musik Aceh sedang didominasi lagu plagiat atau jiplakan jenis remix dangdut dan remix lagu India yang syairnya digubah ke dalam bahasa Aceh.
Berangkat dari kegelisahannya pada musik Aceh yang jauh dari dasar tradisi, Rafly dan beberapa temannya mendirikan grup musik yang mengkolaborasikan alat musik tradisional Aceh, seperti surune kale, rapa-i, dan tambo dengan alat musik modern.
Rapa-i dalam bahasa indonesia lebih di kenal dengan rebana. Rapa-i yang dimainkan dengan cara dipukul ini memiliki ukuran yang berbeda sesuai dengan jenis musik yang menggunakannya. Alat musik ini kerap dimainkan dalam pentas seni Aceh yang menampilkan jenis-jenis musik khas Aceh, seperti rapa-i geleng,rapa-i geurimpheng, rapa-i debus, dan lain-lain.
Surune kale adalah sejenis alat musik tiup seperti halnya seruling. Yang unik dari alat musik ini adalah suara yang dikeluarkan tidak putus-putus sampai akhir dari permainan alat musik ini sendiri, dalam arti kata alat musik ini bisa mengeluarkan suara baik dihisap ataupun ditiup.
Tambo adalah alat musik pukul. Biasanya berukuran besar dan juga memiliki tabung gendang yang panjang dan dibuat dari kayu jati yang kokoh. Suaranya pun bergema besar.
“Tahun 2000 saya ajak adek-adek (adik-adik) ini buat grup Kande. Setelah buat Kande saya buat juga solo saya. Paket materi Kande dan solo ini berbeda, baik secara musikal maupun secara esensi syair-syairnya. Kalau musikal solo mungkin lebih mudah, lebih ringan. Tapi kalau Kande mungkin lebih agak sedikit butuh tenaga ekstra untuk membuat komposisi musik dan liriknya,” kata Rafly, sambil mengelap keringat di dahinya dengan tisu.
Pada awalnya personil Kande terdiri dari Rafly (vokal), Zulkifli (surune kale), Alul (gitar), Amir (bass), Iyan (drum), Munjir (keyboard), Kiki (rapa’i I), Puput (rapa’i II), dan Papi (rapa’i III). Namun, saat ini formasi mereka sedikit berubah, dengan bertambahnya pemain rapa-i dari tiga menjadi lima orang dan pergantian beberapa pemain alat musik modern.
Formasi terakhir mereka adalah Rafly (vokal), Zulkifli (genderang, surune kale), M. Rafiqi (rapa-i), Ferdiansyah (rapa-i), Fadhlul Sunni (gitar elektronik), Munzir (bass), dan Alfian (drum) didukung oleh Deddy Andrian (gitar akusitik), Zulfikar (rapa-i), Ishlahuddin (rapa-i), dan Armia (rapa-i).
Pada tahun 2000, grup ini bekerja selama delapan bulan untuk meracik musik etnis Aceh di Studio Murizal Taher yang akrab dipanggil Momo di kelurahan Keramat, Banda Aceh. Bersamaan dengan penggarapan album pertama Kande, “The Fighting Spirit”, Rafly menyiapkan album solo bertajuk “Hasan dan Husen”. Dia didukung sejumlah penyair ternama Aceh, seperti Ayah Panton, Media Hus, dan Syeh Lah Bangguna.
Setelah berhasil menyiapkan album solo pertamanya, Rafly dihadapkan pada persoalan penolakan produser dan pemodal untuk memproduksi karyanya.
Meski mengalami beberapa penolakan dari produser di Aceh, semangat lelaki itu tidak surut. Dia tak habis pikir bagaimana bisa lagu yang ditawarkannya ditolak setiap produser yang ditemuinya.
“Alah peu nyoe lagu. Kenapa tidak ada perempuan dalam albumnya? Kok lagunya bercampur-campur, ada bahasa Indonesia, Aceh, Jame (salah satu bahasa tradisional di Aceh),” kata Rafly, meniru ucapan-ucapan produser yang ditemuinya itu.
Ada pula yang menolak, karena musiknya dianggap terlampau tua. Menurutnya, itu karena musiknya dibandingkan dengan musik-musik jiplakan itu.
Dia sering singgah di berbagai kedai kopi selepas menemui produser. Di kepalanya terus berputar pertanyaan: mengapa produser Aceh tidak ingin memproduksi lagu-lagu bernuansa etnik Aceh.
Sebagai seorang pencipta, Rafly ingin mengetahui langsung apa yang diinginkan masyarakat Aceh.
Kala itu musik Aceh sedang didominasi lagu plagiat atau jiplakan jenis remix dangdut dan remix lagu India yang syairnya digubah ke dalam bahasa Aceh.
Berangkat dari kegelisahannya pada musik Aceh yang jauh dari dasar tradisi, Rafly dan beberapa temannya mendirikan grup musik yang mengkolaborasikan alat musik tradisional Aceh, seperti surune kale, rapa-i, dan tambo dengan alat musik modern.
Rapa-i dalam bahasa indonesia lebih di kenal dengan rebana. Rapa-i yang dimainkan dengan cara dipukul ini memiliki ukuran yang berbeda sesuai dengan jenis musik yang menggunakannya. Alat musik ini kerap dimainkan dalam pentas seni Aceh yang menampilkan jenis-jenis musik khas Aceh, seperti rapa-i geleng,rapa-i geurimpheng, rapa-i debus, dan lain-lain.
Surune kale adalah sejenis alat musik tiup seperti halnya seruling. Yang unik dari alat musik ini adalah suara yang dikeluarkan tidak putus-putus sampai akhir dari permainan alat musik ini sendiri, dalam arti kata alat musik ini bisa mengeluarkan suara baik dihisap ataupun ditiup.
Tambo adalah alat musik pukul. Biasanya berukuran besar dan juga memiliki tabung gendang yang panjang dan dibuat dari kayu jati yang kokoh. Suaranya pun bergema besar.
“Tahun 2000 saya ajak adek-adek (adik-adik) ini buat grup Kande. Setelah buat Kande saya buat juga solo saya. Paket materi Kande dan solo ini berbeda, baik secara musikal maupun secara esensi syair-syairnya. Kalau musikal solo mungkin lebih mudah, lebih ringan. Tapi kalau Kande mungkin lebih agak sedikit butuh tenaga ekstra untuk membuat komposisi musik dan liriknya,” kata Rafly, sambil mengelap keringat di dahinya dengan tisu.
Pada awalnya personil Kande terdiri dari Rafly (vokal), Zulkifli (surune kale), Alul (gitar), Amir (bass), Iyan (drum), Munjir (keyboard), Kiki (rapa’i I), Puput (rapa’i II), dan Papi (rapa’i III). Namun, saat ini formasi mereka sedikit berubah, dengan bertambahnya pemain rapa-i dari tiga menjadi lima orang dan pergantian beberapa pemain alat musik modern.
Formasi terakhir mereka adalah Rafly (vokal), Zulkifli (genderang, surune kale), M. Rafiqi (rapa-i), Ferdiansyah (rapa-i), Fadhlul Sunni (gitar elektronik), Munzir (bass), dan Alfian (drum) didukung oleh Deddy Andrian (gitar akusitik), Zulfikar (rapa-i), Ishlahuddin (rapa-i), dan Armia (rapa-i).
Pada tahun 2000, grup ini bekerja selama delapan bulan untuk meracik musik etnis Aceh di Studio Murizal Taher yang akrab dipanggil Momo di kelurahan Keramat, Banda Aceh. Bersamaan dengan penggarapan album pertama Kande, “The Fighting Spirit”, Rafly menyiapkan album solo bertajuk “Hasan dan Husen”. Dia didukung sejumlah penyair ternama Aceh, seperti Ayah Panton, Media Hus, dan Syeh Lah Bangguna.
Setelah berhasil menyiapkan album solo pertamanya, Rafly dihadapkan pada persoalan penolakan produser dan pemodal untuk memproduksi karyanya.
Meski mengalami beberapa penolakan dari produser di Aceh, semangat lelaki itu tidak surut. Dia tak habis pikir bagaimana bisa lagu yang ditawarkannya ditolak setiap produser yang ditemuinya.
“Alah peu nyoe lagu. Kenapa tidak ada perempuan dalam albumnya? Kok lagunya bercampur-campur, ada bahasa Indonesia, Aceh, Jame (salah satu bahasa tradisional di Aceh),” kata Rafly, meniru ucapan-ucapan produser yang ditemuinya itu.
Ada pula yang menolak, karena musiknya dianggap terlampau tua. Menurutnya, itu karena musiknya dibandingkan dengan musik-musik jiplakan itu.
Dia sering singgah di berbagai kedai kopi selepas menemui produser. Di kepalanya terus berputar pertanyaan: mengapa produser Aceh tidak ingin memproduksi lagu-lagu bernuansa etnik Aceh.
Sebagai seorang pencipta, Rafly ingin mengetahui langsung apa yang diinginkan masyarakat Aceh.
Akhirnya, timbul ide untuk memutar albumnya di warung-warung kopi. Sembari menikmati kopi dia mendekati pemilik kedai atau pengunjung di situ dan menanyakan pendapat mereka tentang lagu-lagunya tanpa mengatakan siapa pemilik lagu-lagu tersebut. Ternyata banyak yang menyatakan bahwa lagu-lagu itu enak didengar. Reaksi spontan para pendengar membuatnya jadi bersemangat. Dia melakukan uji dengar ini selama kurang lebih setahun.
Cara ini efektif, karena warung atau kedai kopi di Aceh tak hanya jadi tempat berkumpul melainkan juga jadi tempat memperoleh dan bertukar informasi.
DI tempat berbeda seorang produser lokal di Banda Aceh, Syech Ghazali, juga punya kegelisahan yang sama dengan Rafly. Dia merasa musik Aceh sudah keluar dari nilai-nilai tradisinya.
Suatu hari datanglah Nafrizar, teman Rafly, menawarkan master album “Hasan dan Husen” (album solo pertama Rafly) kepada Ghazali.
Cara ini efektif, karena warung atau kedai kopi di Aceh tak hanya jadi tempat berkumpul melainkan juga jadi tempat memperoleh dan bertukar informasi.
DI tempat berbeda seorang produser lokal di Banda Aceh, Syech Ghazali, juga punya kegelisahan yang sama dengan Rafly. Dia merasa musik Aceh sudah keluar dari nilai-nilai tradisinya.
Suatu hari datanglah Nafrizar, teman Rafly, menawarkan master album “Hasan dan Husen” (album solo pertama Rafly) kepada Ghazali.
“Kata dia, ini ada sample lagu, ada lima lagu. Coba dengar,” tutur Ghazali kepada saya.
Ghazali bertubuh gempal dan berkulit sawo matang. Umurnya 40 tahun. Rambutnya hitam. Tidak ada logat Aceh dalam tutur katanya.
“Saya dengar pakai tape kecil kayak gini,” katanya sembari menunjuk tape recorder saya. “Saya dengar ada lima lagu. Mantap! kata saya dalam hati. Ketemu yang saya cari.”
Ghazali kemudian menanyakan di mana penyanyi lagu-lagu itu kepada Nafrizar.
“Ndak da, nanti saya bawa,” kata Ghazali meniru ucapan Nafrizal kala itu.
Suatu hari Nafrizal datang membawa Rafly ke kantor Ghazali di jalan Teuku Umar, tepatnya di depan gedung Taman Budaya Aceh (sekarang kantornya di jalan Pocut Baren).
Ghazali hanya ingat pernah beberapa kali menonton pagelaran Rafly bersama seniman Aceh di Taman Budaya. Dia mengenal Rafly, tapi tidak menyangka Rafly adalah pemilik suara dalam contoh kaset yang dia dengar itu.
“Inilah penyanyinya,” kata Nafrizal
Ghazali menjerit spontan, “Eeyaahhh,” kemudian dia menepuk kuat bahu Nafrizal. “Memang saya tahu dia tapi saya nggak tahu dia bisa solo kayak gini,” kata Ghazali. Kemudian mereka tertawa bersama.
Sebelum memproduksi album “Hasan dan Husen” yang mengandalkan kisah cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husain itu, Ghazali berkonsultasi dulu dengan beberapa teman seprofesinya. Semua berpendapat secara pribadi mereka tidak berani mengambil risiko memproduksi album tersebut.
Akhirnya Ghazali mengambil keputusan untuk tidak menanyakan pendapat produser, tapi pendapat orang kampung.
“Saya pribadi suka dzikir-dzikir di Aceh. Kita sebagai anak kampung lah istilahnya mendapatkan lagu seperti itu sangat konek lagi dengan hati kita. Kemudian temannya saya bilang, nah ini lah makanan orang Aceh, lagu “Hasan Husen” itu,” tutur Ghazali.
Awalnya Ghazali benar-benar kewalahan karena hanya mempunyai modal sedikit, namun album ini punya arti penting buatnya. Dia merasa punya tanggung jawab moral terhadap kesenian Aceh. Dia juga tak berpikir muluk-muluk. Dia hanya berharap agar lagu ini diterima para penikmat musik Aceh.
Ghazali pernah diwawancarai sebuah radio swasta di Aceh, yang menyebutnya berani melawan arus. Ketika itu Aceh tengah dibanjiri musik India yang liriknya dalam bahasa Aceh.
“Saya katakan, Aceh sebenarnya kaya musiknya tapi orang-orang tidak mau menggalinya saja dan tidak mau berbuat sesuatu yang baru dari hasil kreativitas,” katanya, lagi.
Setelah terjadi transaksi antara Ghazali dan Rafly melalui Nafrizal pada awalnya, mereka langsung melakukan proses rekaman di studio Morizza Recording. Biaya yang dikeluarkan saat itu sekitar Rp 11,5 juta.
“Kalau sekarang seratus kali lipat, eh bisa seribu kali lipat dari yang pertama,” tutur Ghazali.
Promosi album Rafly berjalan sukses berkat bantuan teman-teman Ghazali. Rafly jadi tenar. Album itu terjual 70 ribu buah dalam bentuk kaset. VCD-nya sudah laku ratusan ribu keping.
Berkat penjualan album solo pertama Rafli,Ghazali bisa memperbaiki kondisi keuangannya yang buruk. Setelah itu dia merilis album solo Rafli lainnya seperti “Ainul Mardiah”, “Hasan dan Husen II” dan “Surga Firdaus”. Bahkan dia juga mendukung grup Kande.
Album Kande pertama yang berjudul “The Fighting spirit” yang dirilis tahun 2002, kasetnya telah laku sekitar 50 ribu buah, begitu pula album solo Rafly “Ainul Mardiah” yang dirilis tahun 2003
Ghazali juga bicara soal perbedaan pendapat di kalangan personil sebuah grup musik yang dapat mengganggu kekompakan mereka.
“Tapi kalau Kande, grup mereka punya keinginan yang cukup kuat dan didukung oleh vokal Rafly yang luar biasa. Kalau grup itu sebenarnya kekuatannya di vokal. Kalau sudah ada vokalis yang mendukung, baru mereka bisa buat grup yang kuat,” tutur Ghazali, panjang lebar.
“Ayolah kita membuat lagu Aceh, jangan tergantung dengan pemberian lagu-lagu dari nasional. Itu sebuah pembodohan, saya bilang, entah ada yang tersinggung orang lain, ndak tahulah. Saya katakan dengan diberikan izin lagu-lagu nasional yang lagi ngetop, kemudian kita bawa dalam bahasa Aceh, semakin sempit ruang kita untuk berpikir kreatif (dan) menciptakan lagu-lagu kita sendiri,” himbaunya, bersemangat.
Ghazali menjelaskan bahwa dalam mencari ide lagu ada tiga rumus. Dia mengatakan Rafly juga tahu dan mempraktikkan rumus itu. Pertama, meniru. Kedua, memahami. Ketiga, inovasi.
Sebelum memproduksi album solo pertama Rafly, Ghazali tertarik dengan album grup musik Nyawoeng yang bercerita tentang perjuangan pahlawan-pahlawan Aceh dalam menghadapi penjajah. Nyawoeng juga memadukan alat musik modern dan tradisional Aceh.
“Saat itu saya mengejar Nyawoeng. Siapa sih yang punya Nyawoeng? Saya lihat Jauhari Samalanga (produser) sekampung dengan saya. Saya ketemu, tapi saya cuma kagum saja dengan beliau. Waktu itu saya kagum karena dia berani buat sesuatu hal yang beda, beda karena memunculkan etnisnya, konek lagi dengan hati saya yang dari sononya bertanya kapan saya bisa mendapatkan orang yang berani spekulasi dengan lagu-lagu Aceh yang sebenarnya, kapan saya bergabung dengan orang-orang seperti itu?” kenang Ghazali.
Tapi, tak lama kemudian Nyawoeng dilarang oleh penguasa Darurat Militer di Aceh. Maklumlah Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia sedang berseteru waktu itu. Tahun 2003.
”Saya bilang kalau “Prang Sabi” (“Hikayat Prang Sabi”, salah satu lagu dalam album Nyawoeng) itu dilarang sama juga dengan menghilangkan karya para intelektual zaman dulu,” kata Ghazali, mengenang kejadian tersebut.
Dia malah membawa teks dan CD lagu itu untuk didengar militer waktu itu. Alhasil, mereka setuju album tersebut beredar dengan mencoret sebuah lagu yang Ghazali telah lupa judulnya. Album Nyawoeng pun beredar lagi.
“Mereka (penguasa militer) terlalu jauh mencampuri keamanan di Aceh, sampai-sampai di kesenian pun mereka atur, kan capek kita! Jadi selama 32 tahun terbelenggu kan musik Aceh,” lanjutnya.
Ghazali menilai nada kritik dalam lagu-lagu Kande tidak terlalu terang-terangan dibandingkan Nyawoeng.
“Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu ini (Kande) lagu kritik! Jadi… ndak terlalu vulgar. Jangan (sampai) dianggap lagu Aceh ini kalau sudah berbentuk etnis, udah provokasi,” katanya.
Menurutnya, orang jadi malas mencipta lagu daerah, karena stigma semacam itu.
“Hom” adalah salah satu lagu di album pertama Kande, yang isinya menghimbau masyarakat agar tidak apatis dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Lagu ini menggambarkan keadaan Aceh yang serba tak menentu ketika itu. Semuanya menjawab tidak tahu terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. "Siapa yang mukul?" "hom", "siapa yang tembak?" "hom". Sementara lagu “Seulanga” bicara tentang filosofi Seulanga (bunga khas Aceh yang menyebarkan bau semerbak) yang mekar namun kelak oleh waktu, akan hilang baunya karena layu. Demikian pula nasib seorang manusia atau bahkan sebuah bangsa.
Ghazali mengatakan bahwa dia sudah jarang bertemu Rafly karena kesibukan masing-masing. Namun mereka masih membina hubungan melalui telepon.
Kekaguman Ghazali terhadap Rafly juga terlihat jelas dari cerita-ceritanya.
“Penampilan Rafly di seluruhan, baik di Aceh dan sekeliling, maupun diluar sangat total. Kalau dia sudah masuk roh lagu yang dibuat, dia sering kali mempengaruhi audien. Jadi bisa diajak bersama. Penampilan dia di gedung Sabuga, Bandung contohnya. Dia ajak orang bernyanyi dan nyambung, padahal orang itu bukan orang Aceh. Ada sih orang aceh, tapi sedikit sekali. Tetapi itulah kekuatan tadi itu yang bisa mengajak orang lain,” tutur Ghazali
“Terkadang kekuatan yang tersembunyi muncul. Kadang kita tidak setahu dalam diri kita ada kekuatan sendiri. Kekuatan itu keluar sementara pemiliknya nyantai aja. Saya heran ndak capek dia gitu bisa bawa sekian puluh lagu degan suaranya teriak-teriak, segala macam. Itu kekuatan yang tak terbayangkan dari dia,” kenang Ghazali.
Tinggi suara Rafly berkisar antara empat sampai lima oktaf, menurut Ghazali. Meskipun ada juga yang mengatakan enam oktaf.
RAFLY selalu memeriksa dengan teliti persiapan panggungnya, seperti memeriksa sound system danmicrophone. Dia ingin memuaskan dirinya dulu baru memuaskan orang lain.
“Jadi sekiranya kita tidak puas dalam masa-masa kayak gitu, justru waktu di panggung saat kita tampil kita tidak akan puas,” katanya kepada saya.
Rafly mengatakan bahwa ketika di atas panggung, tidak boleh ada rasa takut menghadapi ribuan penonton. Dia sering membayangkan sosok ibunya sebagai figur yang arif untuk jadi penyemangat dirinya di atas panggung.
Sebelum naik ke panggung, Rafly dan Kande punya ritual kecil, yaitu berdoa, membaca Al Fatihah dan Salawat Nabi. Dia yakin bahwa ketika dia sudah menyatu dengan musik, akan sangat mudah baginya menyampaikan pesan lagunya. Dia juga yakin bahwa musik merupakan bahasa universal.
“Mungkin karena totalitas, karena seperti yang saya bilang tadi sebelum masuk, kita berdoa, pada Allah dan kita minta kekuatan. Karena saya sudah capeeek sekali membuat ini, jadi untuk menghadirkan ini juga harus serius. Saya harus total menghadirkannya. Ya, mungkin saya trans. Saya menganggap semua itu (kekuatan) akan keluar di tubuh saya sendiri. Ndak ada bakar kemenyan,” tegas Rafly, menepis anggapan bahwa dia punya ilmu sihir atau ilmu gaib untuk mensukseskan pertunjukannya.
Di tempat berbeda, Ghazali menjelaskan bahwa Rafly merupakan tipe yang sangat disiplin dan mendambakan kesempurnaan persiapan di mana pun dia konser.
“Kalau sound-nya kurang cocok, tidak memenuhi standard yang dia inginkan, itu memang ada nuansa kekesalannya. Dia itu ingin semuanya sempurna, kalau nggak itu nampak di wajahnya ada kekecewaan. Dia harus benar-benar konek dengan fasilitas. Kalau dia sudah beres mantap sekali, dia pintar memenej awak grupnya,” tutur Ghazali.
“Kadang-kadang dia bisa berubah 120 derajat, tapi kadang karakter dia bisa kita telusuri. Tapi perubahan itu bukan berarti perubahan yang bersikap negatif. Kalau anggotanya tidak menghiraukan teguran, dua kali, tiga kali salah… itu diultimatum. Itu sebenarnya untuk kemajuan,” lanjut Ghazali.
Hal tersebut juga diamini oleh anggota grup Kande yang saya temui di hari berbeda, Deddy Andrian, pemain gitar akustik, “Lebih tepatnya dia itu disiplin. Bagus sih untuk kemajuan grup Kande.”
Rafly sebagai pemimpin Kande menetapkan jadwal latihan ketat bagi anggota Kande ditambah keharusan mengajar di sanggar atau memberi les privat di luar jadwal latihan.
Seruan mengajar itu sengaja dilakukan Rafly untuk “mendarahdagingkan” musik pada grupnya sembari menyebarkan kemampuan bermusik ke generasi muda Aceh.
Namun, dia kadang-kadang merisaukan sesuatu yang tak ada kaitan dengan musiknya.
“Saya risau melihat 2009 ini adalah sebuah kompetisi besar tentang politik. Nah,itu kalau saya berbicara dengan teman politik saya, ingin katakan saya tidak berpolitik secara praktis, tetapi saya punya muatan politik. Saya hanya muatannya saja. Saya tidak masuk ke sana, tidak masuk secara langsung. Jadi siapapun yang pegang negeri ini, Rafly di sudut ini,” tuturnya, sembari menunjuk ke sudut kertas yang terletak di meja.
“Ini tanah Rafly, ini tidak boleh diganggu,” katanya, lagi.
Kembali ke persoalan politik 2009, dia berharap warga Aceh menyongsong pesta tersebut dengan kearifan.
“Jangan sampai nanti ayah Golkar (Partai Golongan Karya), anaknya di partai beda, sampai makan ndak mau satu meja lagi, nah… kan kacau,” katanya, tertawa.
Dia kemudian bercerita bahwa lirik-lirik di album Kande kurang dipahami oleh orang Aceh sendiri.
“Ada semacam tanggung jawab kita untuk kita remaja kan kembali bahasa Aceh kita. Bahasa Aceh itu sangat kompleks, sangat luar biasa. Dia mempunyai konotasi yang banyak,” tuturnya.
Di lirik-lirik album solonya Rafli senang mengangkat syair-syair lama dan memodifikasinya.
“Di nenek kita, di kakek kita, tidurin kita selalu bobo’in kita dengan melodi-melodi yang akrab. Kalaupun tidak pernah terdengar sama kita sekarang, tapi di usia bayi kita dia itu selalu ada dalam nadi kita,” kata Rafly, seraya menyanyikan salah satu lagu nina bobok Aceh yang mengandung nilai ketuhanan.
“La ila haillallah… walau kita tidak ingat, tapi seakan-akan, kok kayaknya pernah saya dengar,” tuturnya.
“Misal kita di umur SD (sekolah dasar) sering dikasih asam sunti, tiba-tiba kita ke Jakarta, udah gede udah besar ya, trus tiba-tiba disuguhi asam sunti, waduh mangat that lagoe, nyoe pane (waduh betapa enak sekali. Ini dari mana)? Itu lah kira-kira filosofinya.” Dia tersenyum lagi.
Kami lantas berbincang tentang hak cipta.
“Kalau kita lihat syair dulu kan beberapa kali kutip dan tidak dicantumkan nama. Jadi nggak tahu kita siapa pemiliknya. Sebenarnya NN (no name). Tapi kita buat indatu, orang yang terdahulu. Kan itu sebuah penghargaan. Tidak ada yang saya ambil syair indatu tapi tidak saya cantumkan namanya. Kalau ada yang seperti itu bawa kepada saya. Mungkin itu kesalahan redaksi atau kesalahan tulisan. Saya itu sangat menjunjung tinggi hak cipta orang, “ tegasnya
Studio Kande berukuran kurang lebih 5 x 6 meter persegi. Dindingnya dilapisi karpet hijau muda. Langit-langitnya dilapisi karpet hijau tua. Ada tulisan jadwal latihan Kande yang tercantum di kertas HVS yang ditempel di dinding.
“Untuk studio ini aja habisnya Rp 40 juta,” kata Rafly. “Ini belum lagi peralatan musik lainnya,” lanjutnya.
“Itu materi untuk besok. Puisinya dibacakan oleh anak saya, kemudian kami nyanyikan berdua,” katanya menunjuk lirik lagu yang terpajang di dinding.
Lembut ku kenang.. kasih mu ibu
Di dalam hati ku kini menanggung rindu.
Kau tabur kasih seumur masa
Bergetar syahdu oh di dalam nadiku.
Menurut Rafly, dia berlatih vokal dengan bermacam cara. Kadangkala dia pergi ke tepi laut dan menjerit melawan debur ombak. Dulu dia sering menghabiskan waktunya di gunung. Dia senang menyanyi di kesunyian diiringi irama alam.
Bila berkunjung ke kampung istrinya di Montasik, Aceh Besar, dia selalu menyempatkan diri menyusuri pematang sawah hanya untuk mendengar suara jangkrik. Setiap pagi.
“Itu menarik sekali itu. Iet iet iet iet (menirukan bunyi jangkrik)… saking banyaknya sepanjang jalan. Dia ndak nampak, tapi suaranya besar dan banyak. Luarrrr biasa,” kenang Rafly. Matanya berbinar-binar ketika menceritakan kebiasaannya itu.
“Saya dengar pakai tape kecil kayak gini,” katanya sembari menunjuk tape recorder saya. “Saya dengar ada lima lagu. Mantap! kata saya dalam hati. Ketemu yang saya cari.”
Ghazali kemudian menanyakan di mana penyanyi lagu-lagu itu kepada Nafrizar.
“Ndak da, nanti saya bawa,” kata Ghazali meniru ucapan Nafrizal kala itu.
Suatu hari Nafrizal datang membawa Rafly ke kantor Ghazali di jalan Teuku Umar, tepatnya di depan gedung Taman Budaya Aceh (sekarang kantornya di jalan Pocut Baren).
Ghazali hanya ingat pernah beberapa kali menonton pagelaran Rafly bersama seniman Aceh di Taman Budaya. Dia mengenal Rafly, tapi tidak menyangka Rafly adalah pemilik suara dalam contoh kaset yang dia dengar itu.
“Inilah penyanyinya,” kata Nafrizal
Ghazali menjerit spontan, “Eeyaahhh,” kemudian dia menepuk kuat bahu Nafrizal. “Memang saya tahu dia tapi saya nggak tahu dia bisa solo kayak gini,” kata Ghazali. Kemudian mereka tertawa bersama.
Sebelum memproduksi album “Hasan dan Husen” yang mengandalkan kisah cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husain itu, Ghazali berkonsultasi dulu dengan beberapa teman seprofesinya. Semua berpendapat secara pribadi mereka tidak berani mengambil risiko memproduksi album tersebut.
Akhirnya Ghazali mengambil keputusan untuk tidak menanyakan pendapat produser, tapi pendapat orang kampung.
“Saya pribadi suka dzikir-dzikir di Aceh. Kita sebagai anak kampung lah istilahnya mendapatkan lagu seperti itu sangat konek lagi dengan hati kita. Kemudian temannya saya bilang, nah ini lah makanan orang Aceh, lagu “Hasan Husen” itu,” tutur Ghazali.
Awalnya Ghazali benar-benar kewalahan karena hanya mempunyai modal sedikit, namun album ini punya arti penting buatnya. Dia merasa punya tanggung jawab moral terhadap kesenian Aceh. Dia juga tak berpikir muluk-muluk. Dia hanya berharap agar lagu ini diterima para penikmat musik Aceh.
Ghazali pernah diwawancarai sebuah radio swasta di Aceh, yang menyebutnya berani melawan arus. Ketika itu Aceh tengah dibanjiri musik India yang liriknya dalam bahasa Aceh.
“Saya katakan, Aceh sebenarnya kaya musiknya tapi orang-orang tidak mau menggalinya saja dan tidak mau berbuat sesuatu yang baru dari hasil kreativitas,” katanya, lagi.
Setelah terjadi transaksi antara Ghazali dan Rafly melalui Nafrizal pada awalnya, mereka langsung melakukan proses rekaman di studio Morizza Recording. Biaya yang dikeluarkan saat itu sekitar Rp 11,5 juta.
“Kalau sekarang seratus kali lipat, eh bisa seribu kali lipat dari yang pertama,” tutur Ghazali.
Promosi album Rafly berjalan sukses berkat bantuan teman-teman Ghazali. Rafly jadi tenar. Album itu terjual 70 ribu buah dalam bentuk kaset. VCD-nya sudah laku ratusan ribu keping.
Berkat penjualan album solo pertama Rafli,Ghazali bisa memperbaiki kondisi keuangannya yang buruk. Setelah itu dia merilis album solo Rafli lainnya seperti “Ainul Mardiah”, “Hasan dan Husen II” dan “Surga Firdaus”. Bahkan dia juga mendukung grup Kande.
Album Kande pertama yang berjudul “The Fighting spirit” yang dirilis tahun 2002, kasetnya telah laku sekitar 50 ribu buah, begitu pula album solo Rafly “Ainul Mardiah” yang dirilis tahun 2003
Ghazali juga bicara soal perbedaan pendapat di kalangan personil sebuah grup musik yang dapat mengganggu kekompakan mereka.
“Tapi kalau Kande, grup mereka punya keinginan yang cukup kuat dan didukung oleh vokal Rafly yang luar biasa. Kalau grup itu sebenarnya kekuatannya di vokal. Kalau sudah ada vokalis yang mendukung, baru mereka bisa buat grup yang kuat,” tutur Ghazali, panjang lebar.
“Ayolah kita membuat lagu Aceh, jangan tergantung dengan pemberian lagu-lagu dari nasional. Itu sebuah pembodohan, saya bilang, entah ada yang tersinggung orang lain, ndak tahulah. Saya katakan dengan diberikan izin lagu-lagu nasional yang lagi ngetop, kemudian kita bawa dalam bahasa Aceh, semakin sempit ruang kita untuk berpikir kreatif (dan) menciptakan lagu-lagu kita sendiri,” himbaunya, bersemangat.
Ghazali menjelaskan bahwa dalam mencari ide lagu ada tiga rumus. Dia mengatakan Rafly juga tahu dan mempraktikkan rumus itu. Pertama, meniru. Kedua, memahami. Ketiga, inovasi.
Sebelum memproduksi album solo pertama Rafly, Ghazali tertarik dengan album grup musik Nyawoeng yang bercerita tentang perjuangan pahlawan-pahlawan Aceh dalam menghadapi penjajah. Nyawoeng juga memadukan alat musik modern dan tradisional Aceh.
“Saat itu saya mengejar Nyawoeng. Siapa sih yang punya Nyawoeng? Saya lihat Jauhari Samalanga (produser) sekampung dengan saya. Saya ketemu, tapi saya cuma kagum saja dengan beliau. Waktu itu saya kagum karena dia berani buat sesuatu hal yang beda, beda karena memunculkan etnisnya, konek lagi dengan hati saya yang dari sononya bertanya kapan saya bisa mendapatkan orang yang berani spekulasi dengan lagu-lagu Aceh yang sebenarnya, kapan saya bergabung dengan orang-orang seperti itu?” kenang Ghazali.
Tapi, tak lama kemudian Nyawoeng dilarang oleh penguasa Darurat Militer di Aceh. Maklumlah Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia sedang berseteru waktu itu. Tahun 2003.
”Saya bilang kalau “Prang Sabi” (“Hikayat Prang Sabi”, salah satu lagu dalam album Nyawoeng) itu dilarang sama juga dengan menghilangkan karya para intelektual zaman dulu,” kata Ghazali, mengenang kejadian tersebut.
Dia malah membawa teks dan CD lagu itu untuk didengar militer waktu itu. Alhasil, mereka setuju album tersebut beredar dengan mencoret sebuah lagu yang Ghazali telah lupa judulnya. Album Nyawoeng pun beredar lagi.
“Mereka (penguasa militer) terlalu jauh mencampuri keamanan di Aceh, sampai-sampai di kesenian pun mereka atur, kan capek kita! Jadi selama 32 tahun terbelenggu kan musik Aceh,” lanjutnya.
Ghazali menilai nada kritik dalam lagu-lagu Kande tidak terlalu terang-terangan dibandingkan Nyawoeng.
“Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu ini (Kande) lagu kritik! Jadi… ndak terlalu vulgar. Jangan (sampai) dianggap lagu Aceh ini kalau sudah berbentuk etnis, udah provokasi,” katanya.
Menurutnya, orang jadi malas mencipta lagu daerah, karena stigma semacam itu.
“Hom” adalah salah satu lagu di album pertama Kande, yang isinya menghimbau masyarakat agar tidak apatis dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Lagu ini menggambarkan keadaan Aceh yang serba tak menentu ketika itu. Semuanya menjawab tidak tahu terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. "Siapa yang mukul?" "hom", "siapa yang tembak?" "hom". Sementara lagu “Seulanga” bicara tentang filosofi Seulanga (bunga khas Aceh yang menyebarkan bau semerbak) yang mekar namun kelak oleh waktu, akan hilang baunya karena layu. Demikian pula nasib seorang manusia atau bahkan sebuah bangsa.
Ghazali mengatakan bahwa dia sudah jarang bertemu Rafly karena kesibukan masing-masing. Namun mereka masih membina hubungan melalui telepon.
Kekaguman Ghazali terhadap Rafly juga terlihat jelas dari cerita-ceritanya.
“Penampilan Rafly di seluruhan, baik di Aceh dan sekeliling, maupun diluar sangat total. Kalau dia sudah masuk roh lagu yang dibuat, dia sering kali mempengaruhi audien. Jadi bisa diajak bersama. Penampilan dia di gedung Sabuga, Bandung contohnya. Dia ajak orang bernyanyi dan nyambung, padahal orang itu bukan orang Aceh. Ada sih orang aceh, tapi sedikit sekali. Tetapi itulah kekuatan tadi itu yang bisa mengajak orang lain,” tutur Ghazali
“Terkadang kekuatan yang tersembunyi muncul. Kadang kita tidak setahu dalam diri kita ada kekuatan sendiri. Kekuatan itu keluar sementara pemiliknya nyantai aja. Saya heran ndak capek dia gitu bisa bawa sekian puluh lagu degan suaranya teriak-teriak, segala macam. Itu kekuatan yang tak terbayangkan dari dia,” kenang Ghazali.
Tinggi suara Rafly berkisar antara empat sampai lima oktaf, menurut Ghazali. Meskipun ada juga yang mengatakan enam oktaf.
RAFLY selalu memeriksa dengan teliti persiapan panggungnya, seperti memeriksa sound system danmicrophone. Dia ingin memuaskan dirinya dulu baru memuaskan orang lain.
“Jadi sekiranya kita tidak puas dalam masa-masa kayak gitu, justru waktu di panggung saat kita tampil kita tidak akan puas,” katanya kepada saya.
Rafly mengatakan bahwa ketika di atas panggung, tidak boleh ada rasa takut menghadapi ribuan penonton. Dia sering membayangkan sosok ibunya sebagai figur yang arif untuk jadi penyemangat dirinya di atas panggung.
Sebelum naik ke panggung, Rafly dan Kande punya ritual kecil, yaitu berdoa, membaca Al Fatihah dan Salawat Nabi. Dia yakin bahwa ketika dia sudah menyatu dengan musik, akan sangat mudah baginya menyampaikan pesan lagunya. Dia juga yakin bahwa musik merupakan bahasa universal.
“Mungkin karena totalitas, karena seperti yang saya bilang tadi sebelum masuk, kita berdoa, pada Allah dan kita minta kekuatan. Karena saya sudah capeeek sekali membuat ini, jadi untuk menghadirkan ini juga harus serius. Saya harus total menghadirkannya. Ya, mungkin saya trans. Saya menganggap semua itu (kekuatan) akan keluar di tubuh saya sendiri. Ndak ada bakar kemenyan,” tegas Rafly, menepis anggapan bahwa dia punya ilmu sihir atau ilmu gaib untuk mensukseskan pertunjukannya.
Di tempat berbeda, Ghazali menjelaskan bahwa Rafly merupakan tipe yang sangat disiplin dan mendambakan kesempurnaan persiapan di mana pun dia konser.
“Kalau sound-nya kurang cocok, tidak memenuhi standard yang dia inginkan, itu memang ada nuansa kekesalannya. Dia itu ingin semuanya sempurna, kalau nggak itu nampak di wajahnya ada kekecewaan. Dia harus benar-benar konek dengan fasilitas. Kalau dia sudah beres mantap sekali, dia pintar memenej awak grupnya,” tutur Ghazali.
“Kadang-kadang dia bisa berubah 120 derajat, tapi kadang karakter dia bisa kita telusuri. Tapi perubahan itu bukan berarti perubahan yang bersikap negatif. Kalau anggotanya tidak menghiraukan teguran, dua kali, tiga kali salah… itu diultimatum. Itu sebenarnya untuk kemajuan,” lanjut Ghazali.
Hal tersebut juga diamini oleh anggota grup Kande yang saya temui di hari berbeda, Deddy Andrian, pemain gitar akustik, “Lebih tepatnya dia itu disiplin. Bagus sih untuk kemajuan grup Kande.”
Rafly sebagai pemimpin Kande menetapkan jadwal latihan ketat bagi anggota Kande ditambah keharusan mengajar di sanggar atau memberi les privat di luar jadwal latihan.
Seruan mengajar itu sengaja dilakukan Rafly untuk “mendarahdagingkan” musik pada grupnya sembari menyebarkan kemampuan bermusik ke generasi muda Aceh.
Namun, dia kadang-kadang merisaukan sesuatu yang tak ada kaitan dengan musiknya.
“Saya risau melihat 2009 ini adalah sebuah kompetisi besar tentang politik. Nah,itu kalau saya berbicara dengan teman politik saya, ingin katakan saya tidak berpolitik secara praktis, tetapi saya punya muatan politik. Saya hanya muatannya saja. Saya tidak masuk ke sana, tidak masuk secara langsung. Jadi siapapun yang pegang negeri ini, Rafly di sudut ini,” tuturnya, sembari menunjuk ke sudut kertas yang terletak di meja.
“Ini tanah Rafly, ini tidak boleh diganggu,” katanya, lagi.
Kembali ke persoalan politik 2009, dia berharap warga Aceh menyongsong pesta tersebut dengan kearifan.
“Jangan sampai nanti ayah Golkar (Partai Golongan Karya), anaknya di partai beda, sampai makan ndak mau satu meja lagi, nah… kan kacau,” katanya, tertawa.
Dia kemudian bercerita bahwa lirik-lirik di album Kande kurang dipahami oleh orang Aceh sendiri.
“Ada semacam tanggung jawab kita untuk kita remaja kan kembali bahasa Aceh kita. Bahasa Aceh itu sangat kompleks, sangat luar biasa. Dia mempunyai konotasi yang banyak,” tuturnya.
Di lirik-lirik album solonya Rafli senang mengangkat syair-syair lama dan memodifikasinya.
“Di nenek kita, di kakek kita, tidurin kita selalu bobo’in kita dengan melodi-melodi yang akrab. Kalaupun tidak pernah terdengar sama kita sekarang, tapi di usia bayi kita dia itu selalu ada dalam nadi kita,” kata Rafly, seraya menyanyikan salah satu lagu nina bobok Aceh yang mengandung nilai ketuhanan.
“La ila haillallah… walau kita tidak ingat, tapi seakan-akan, kok kayaknya pernah saya dengar,” tuturnya.
“Misal kita di umur SD (sekolah dasar) sering dikasih asam sunti, tiba-tiba kita ke Jakarta, udah gede udah besar ya, trus tiba-tiba disuguhi asam sunti, waduh mangat that lagoe, nyoe pane (waduh betapa enak sekali. Ini dari mana)? Itu lah kira-kira filosofinya.” Dia tersenyum lagi.
Kami lantas berbincang tentang hak cipta.
“Kalau kita lihat syair dulu kan beberapa kali kutip dan tidak dicantumkan nama. Jadi nggak tahu kita siapa pemiliknya. Sebenarnya NN (no name). Tapi kita buat indatu, orang yang terdahulu. Kan itu sebuah penghargaan. Tidak ada yang saya ambil syair indatu tapi tidak saya cantumkan namanya. Kalau ada yang seperti itu bawa kepada saya. Mungkin itu kesalahan redaksi atau kesalahan tulisan. Saya itu sangat menjunjung tinggi hak cipta orang, “ tegasnya
Studio Kande berukuran kurang lebih 5 x 6 meter persegi. Dindingnya dilapisi karpet hijau muda. Langit-langitnya dilapisi karpet hijau tua. Ada tulisan jadwal latihan Kande yang tercantum di kertas HVS yang ditempel di dinding.
“Untuk studio ini aja habisnya Rp 40 juta,” kata Rafly. “Ini belum lagi peralatan musik lainnya,” lanjutnya.
“Itu materi untuk besok. Puisinya dibacakan oleh anak saya, kemudian kami nyanyikan berdua,” katanya menunjuk lirik lagu yang terpajang di dinding.
Lembut ku kenang.. kasih mu ibu
Di dalam hati ku kini menanggung rindu.
Kau tabur kasih seumur masa
Bergetar syahdu oh di dalam nadiku.
Menurut Rafly, dia berlatih vokal dengan bermacam cara. Kadangkala dia pergi ke tepi laut dan menjerit melawan debur ombak. Dulu dia sering menghabiskan waktunya di gunung. Dia senang menyanyi di kesunyian diiringi irama alam.
Bila berkunjung ke kampung istrinya di Montasik, Aceh Besar, dia selalu menyempatkan diri menyusuri pematang sawah hanya untuk mendengar suara jangkrik. Setiap pagi.
“Itu menarik sekali itu. Iet iet iet iet (menirukan bunyi jangkrik)… saking banyaknya sepanjang jalan. Dia ndak nampak, tapi suaranya besar dan banyak. Luarrrr biasa,” kenang Rafly. Matanya berbinar-binar ketika menceritakan kebiasaannya itu.
“Kalau kita lihat kebesaran Tuhan melalui alam, rasanya begitu kecil kita. Itu juga sumber inspirasi,” ujarnya.***
subahanAllah..... rafly,saya mencintai & menggemarinya....
ReplyDeleteJUJOR beh,n :) . long pengemar musik bg rafly, tp jinoe bg rafly ka geu ek calek, seuandaijih terpileh pakiban?. yg na lambenak long, yg phon long takot hana penerus yg lagenyoe dlm hal bermusik, yg keu 2. emg bg rafly cocok sebagai peminpim aceh. :). salem aneuk PASE :)
ReplyDeleteLembut ku kenang.. kasih mu ibu
ReplyDeleteDi dalam hati ku kini menanggung rindu.
Kau tabur kasih seumur masa
Bergetar syahdu oh di dalam nadiku.
Dari hati yang paling dalam lagu itu menyentuh dan mengena dihati saya saat ini ditengah perjuangan ibu saya yang sedang menghadapi takdir hidup dan mati di rumah sakit. Saya sungguh takut ditinggal pergi ibu
Lembut ku kenang.. kasih mu ibu
ReplyDeleteDi dalam hati ku kini menanggung rindu.
Kau tabur kasih seumur masa
Bergetar syahdu oh di dalam nadiku.
Dari hati yang paling dalam lagu itu menyentuh dan mengena dihati saya saat ini ditengah perjuangan ibu saya yang sedang menghadapi takdir hidup dan mati di rumah sakit. Saya sungguh takut ditinggal pergi ibu
walau saya tidak faham artinya, tp lagunya enak didengar. salam dari jawa
ReplyDeleteLagu ibu, sungguh bikin bergetar,, gak kuat dengarnya,,
ReplyDeletesaya sangat menyukai lagu rafli''''makasih rafly-
ReplyDeleteAdakah penerusnya syair2 Aceh
ReplyDelete