November 15, 2013

HUKUM SHALAT FARDHU BERJAMAAH MENURUT MAZHAB SYAFI’I

Shalat Fardhu dengan berjamaah di tempat adzan dikumandangkan (masjid), adalah cara shalat-nya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. tidak pernah shalat di rumah kecuali shalat-shalat sunnah. Bahkan, meskipun dalam keadaan sakitnya yang parah, beliau tetap berangkat ke masjid untuk menunaikan berjamaah shalat fardlu, beliau berjalan dipapah oleh dua orang sahabat, kemudian didudukan dalam shaf, ketika itu yang mengimami shalat adalah Abu Bakar As-Sidiq R.a. Demikian pula ada sahabat yang buta, diperintahkan oleh Rasululllah Saw. untuk menjawab panggilan adzan dengan mendatangi masjid untuk shalat fardlu dengan cara berjamaah.
      Hari ini, sebagian sangat besar umat Islam berjamaah dalam hal shalat fardlu. Hal ini terjadi, salah satunya karena sebagian pemuka masyarakat atau tokoh panutan umat (ustadz, dai/mubaligh,ulama) kurang konsisten berjamaah lima waktu di masjid. Mereka beranggapan bahwa hukum berjamaah pada shalat fardlu adalah sunnah muakadah, juga menganggap kalau ketentuan hukum sunnah muakadah terhadap shalat fardlu berjamaah adalah ketentuan  hukum resmi mazhab Syafi’i, yaitu mazhab fiqh yang dianut oleh sebagian besar umat Islam di negeri ini.
Benarkah Pandangan ini ?

Mari kita baca pendapat Imam Syafi’i mengenai shalat jamaah yang terdapat dalam kitab terbesarnya yaitu Al-Umm berikut ini :

SHALAT BERJAMAAH

  Allah yang Maha Suci namaNya menyebutkan akan adzan (pemberitahuan) dengan datangnya waktu shalat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Artinya: “Dan apabila kamu memanggil (menyeru) untuk mengerjakan shalat, mereka menjadikan seruanmu itu olok-olok dan main-main. Yang demikian itu adalah karena mereka orang-orang yang tidak mengerti” S. Al-Maidah, ayat 58.
  Allah berfirman: 
Artinya: “Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at, segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”. S. Al-Jumu’ah, ayat 9.
  Allah mewajibkan -dan Allah yang lebih tahu- untuk mengerjakan shalat Jum’at dan Rasulullah s.a.w. men-sunnahkan adzan bagi shalat-shalat yang fardhu. Maka mungkinlah bahwa diwajibkan mengerjakan shalat jama’ah pada bukan Jum’at. Sebagaimana disuruh mengerjakan shalat Jum’at dan meninggalkan jual beli. Dan mungkin bahwa di-adzan-kan dengan shalat Jum’at itu, supaya dikerjakan pada waktunya.
  Rasulullah s.a.w. telah mengumpulkan orang musafir dan orang mukim, orang yang takut mendapat bahaya dan orang yang tidak takut. Allah Azza wa Jalla berfirman kepada nabiNya s.a.w. yang artinya:
“Dan kalau engkau hadir bersama-sama dengan mereka, hendak mengerjakan shalat berkaum-kaum dengan mereka, hendaklah sebahagian diantaranya berdiri untuk shalat bersama-sama engkau dan memegang senjatanya”. S. An-Nisa, ayat 102.
Dan ayat yang sesudahnya.
  Rasulullah s.a.w. menyuruh kepada orang yang mengerjakan shalat, bahwa dikerjakannya dan dia itu dalam keaadan tenang. Beliau meringankan untuk meninggalkan mengerjakan shalat dengan berjama’ah karena ada halangan (‘udzur), dengan yang akan saya sebutkan pada tempatnya insya Allah Ta’ala.
  Serupalah apa yang saya sebutkan dari Kitab dan Sunnah, bahwa tidak halal meninggalkan bershalat setiap shalat fardhu dalam berjama’ah. Sehingga tidak kosonglah jama’ah yang bermukim dan bermusafir, bahwa terdapatlah pada mereka shalat jama’ah.
  Dikabarkan kepada kami oleh Malik dari Abiz-Zannad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demi Tuhan, yang diriku di tanganNya! Sungguh aku bercita-cita bahwa aku menyuruh untuk dikumpulkan kayu api. Kemudian aku suruh denga mengerjakan shalat. Lalu di-adzan-kan untuk shalat itu. Kemudian aku suruh seorang laki-laki, lalu ia mengimami manusia banyak. Kemudian aku berpaling kepada orang-orang yang terlambat. Maka aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Tuhan yang diriku di tanganNya! Kalau tahulah seseorang dari mereka bahwa ia akan memperoleh daging tulang yang gemuk atau dua buah delima yang baik, niscaya ia menghadiri shalat ‘Isya”.
Dikabarkan kepada kami oleh Malik dari Abdurrahman bin Harmalah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya: “Perbedaan diantara kita dan orang-orang munafik, ialah menghadiri shalat ‘Isya’ dan Shubuh, yang tidak disanggupi oleh orang-orang munafik pada keduanya atau yang seperti ini”.
  Maka serupalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah s.a.w. dari cita-citanya bahwa akan membakar rumah-rumah kaum itu, adalah yang disabdakannya itu terhadap kaum yang meninggalkan shalat ‘Isya’, karena kemunafikan. Dan Allah Ta’ala yan Maha Tahu.
  Maka saya tidak meringankan bagi orang yang sanggup kepada shalat jama’ah, bahwa meninggalkan mengerjakannya, selain dari karena ‘udzur. Kalau seseorang meninggalkan shalat jama’ah, lalu dikerjakannya shalat itu sendirian, niscaya tidaklah ia mengulanginya. Yang dikerjakannya shalat itu sebelum shalat imam atau sesudahnya. Selain shalat Jum’at. Maka atas orang yang mengerjakannya sebagai shalat Dhuhur, sebelum shalat imam, niscaya ia mengulanginya. Karena mengerjakan shalat Jum’at itu fardlu ‘ain – dan Allah Ta’ala yang Maha Tahu.
  Setiap jama’ah yang dikerjakan shalat padanya oleh seseorang, baik di rumahnya atau di masjid kecil atau besar, yang sedikit jama’ahnya atau banyak, niscaya memadailah jama’ah itu baginya. Dan masjid yang lebih besar, dimana banyaklah jama’ah padanya, adalah lebih saya sukai. Kalau ada bagi seseorang masjid yang ia berjamah baginya, lalu luputlah waktu shalat baginya, maka kalau ia datang ke masjid jama’ah yang lain, niscaya saya lebih menyukainya. Dan kalau tidak didatanginya dan ia mengerjakan shalat dalam masjid itu sendirian, maka itu baik.
  Apabila ada bagi masjid itu imam yang diatur (imam rawatib), lalu luputlah waktu shalat bagi seseorang atau beberapa orang padanya, niscaya mereka itu mengerjakan shalat sendiri-sendiri. Saya tidak menyukai bahwa mereka mengerjakan shalat padanya dengan berjama’ah. Kalau diperbuatnya juga, niscaya memadailah jama’ah itu bagi mereka. Bahwa saya memandang makruh yang demikian bagi mereka, karena tidaklah itu dari yang diperbuat oleh ulama salaf sebelum kita. Bahkan sebahagian mereka memandangnya sebagai memalukan.
  Saya mengira tentang makruhnya perbuatan orang yang dimakruhkan demikian adalah karena mendatangkan perpecahan bagi mereka. Kalau seseorang tidak suka mengerjakan shalat dibelakang imam suatu jama’ah, maka ia mundur dari orang itu. Orang yang bermaksud ke masjid pada waktu shalat, maka apabila telah dilaksanakan shalat, niscaya ia masuk, lalu mereka berjama’ah, maka pada ini mendatangkan perselisihan dan perpecahan. Dan dua pada persoalan itu makruh. Saya memandang makruh ini, pada setiap masjid yang mempunyai imam dan juru adzan. Adapun masjid yang dibangun atas dataran jalan atau daerah yang tidak ada padanya juru adzan yang teratur dan ada padanya imam yang diketahui, lalu mengerjakan shalat padanya orang-orang yang lalu lintas dan mereka itu berteduh, maka saya tidak memandang makruh yang demikian. Karena tidak ada padanya makna yang saya terangkan, yaitu: perpecahan.
  Bahwa kalau orang-orang itu tidak suka kepada imam seseorang, maka mereka mengambil imam yang lain. Kalau ia mengerjakan shalat dengan berjama’ah pada suatu masjid, yang mempunyai imam, kemudian bershalat padanya orang-orang yang lain pada jamaah sesudah mereka, niscaya saya memandang makruh yang demikian, karena yang saya terangkan itu. Dan shalat mereka itu memadai bagi mereka.
 ***

   Demikianlah pendapat dari Al-Imam Asy-Syafi’i yang ditulis didalam kitab Al-Umm mengenai permasalahan shalat berjama’ah. Semoga bermanfaat. Silahkan kepada pembaca untuk menarik kesimpulan masing-masing.
Allah Yang Maha Tahu.


Sumber :
Al-UMM (Kitab Induk), Jilid 1.
Karangan: Al-Imam Asy-Syafi’i R.A.
Penerjemah: Prof. Tk. H. Ismail Yakub SH. MA.
Penerbit: Victory Agency Kuala Lumpur. 1989.